Kasus Dugaan Malpraktik Puskesmas Kedundung Memanas, Polres Bangkalan Diduga Ubah Pasal Secara Sepihak
Tragisnya, kasus bermula saat Mukaromah menjalani proses persalinan di Puskesmas Kedundung. Niat awal untuk melahirkan melalui operasi caesar justru dibelokkan oleh pihak puskesmas dengan menyarankan persalinan normal. Proses persalinan tersebut berujung tragis ketika bayi yang dilahirkan keluar dengan posisi sungsang--kaki terlebih dahulu-hingga menyebabkan kepala bayi tertinggal dan terputus di dalam rahim ibu.
Pihak puskesmas yang panik kemudian merujuk Mukaromah ke RSIA Glamour Husada Kebun untuk mengeluarkan kepala bayi yang tertinggal melalui prosedur operasi. Akibat kejadian ini, suami korban, Sulaiman, melaporkan sejumlah tenaga kesehatan Puskesmas Kedundung ke Polres Bangkalan pada 4 Mei 2024 dengan dugaan malpraktik medis.
Dalam tahap awal penyidikan, penyidik menerapkan Pasal 84 ayat (2) UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan/atau Pasal 359 KUHP mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian. Namun, kasus ini sempat mati suri hingga akhirnya mencuat kembali usai disoroti LSM Laskar Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (LASBANDRA) yang mengirimkan surat klarifikasi ke Polres Bangkalan pada 5 Mei 2025.
Penyidik kemudian mengeluarkan surat perintah penyidikan baru tertanggal sama dengan surat klarifikasi, yakni 5 Mei 2025. SP2HP kedua dikirimkan ke keluarga korban pada 11 Mei 2025.
Namun dalam audiensi yang digelar pada 2 Juni 2025 di Mapolres Bangkalan, keluarga korban mendapat kejutan baru. Kasatreskrim Polres Bangkalan, AKP Hafid Dian Maulidi, S.H, yang hadir bersama Kanit Pidum Ipda M. Nurcahyo, S.H, M.H, menyatakan bahwa pasal yang digunakan dalam penyidikan telah diganti.
"Mohon maaf, betul kami ganti undang-undangnya. Kasus tersebut lebih tepatnya menerapkan Pasal 305 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengharuskan meminta rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi (MDP)," ujar AKP Hafid saat audiensi.
Pernyataan tersebut memicu kekecewaan mendalam dari pihak korban. Barry Dwi Pranata, S.H, salah satu penasihat hukum keluarga Mukaromah, menilai langkah penyidik sebagai bentuk inkonsistensi hukum.
"Penyidik tidak memahami UU dan tidak konsisten dalam penggunaan undang-undang yang seharusnya telah dianalisis sejak awal laporan. Wajar jika masyarakat menilai penyidik tidak profesional dan sarat kepentingan jabatan," tegas Barry saat ditemui usai audiensi.
Keluarga korban dan pendamping hukum menduga adanya indikasi kongkalikong dalam penanganan kasus tersebut, terutama karena perubahan pasal muncul setelah kasus menjadi viral dan mendapat sorotan publik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak MDP terkait permintaan rekomendasi sebagaimana disyaratkan UU No. 17 Tahun 2023 yang kini digunakan penyidik.
Editor : Suhaili