Diduga Halangi Kerja Jurnalistik, Kejari Surabaya Disorot Soal Kebebasan Pers
seputarindonesiatv.id || Surabaya - Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya menuai sorotan publik menyusul dugaan penghalangan kerja jurnalistik yang dialami wartawan media online saat menjalankan tugas peliputan di lingkungan kantor kejaksaan. Insiden tersebut dinilai mencederai prinsip kemerdekaan pers yang dijamin undang-undang.
Peristiwa itu dialami Harifin, jurnalis media online, ketika meliput pelimpahan berkas perkara tahap II (P21 tahap II) terhadap tersangka Bimas Nurcahya bin Tjipto Tranggono (alm). Insiden terjadi di area Kejari Surabaya, Selasa (16/12/2025).
Saat menjalankan tugas jurnalistik, Harifin diduga dilarang melanjutkan peliputan oleh Sahrul, petugas keamanan internal Kejari Surabaya. Petugas meminta wartawan menghentikan pengambilan gambar dan pengumpulan informasi dengan alasan kewenangan internal kejaksaan.
Penolakan tersebut memicu adu argumen antara wartawan dan petugas keamanan. Dalam situasi itu, Harifin juga diminta menunjukkan kartu identitas pers, meski yang bersangkutan tengah menjalankan tugas jurnalistik secara terbuka.
Di tengah insiden tersebut, awak media di lokasi juga menyoroti kondisi bus tahanan Kejari Surabaya yang tampak berkarat dan masih digunakan untuk mengangkut para tersangka menuju rumah tahanan. Kondisi sarana tersebut turut menarik perhatian jurnalis.
Harifin mengungkapkan, Candra selaku Intelijen Kejari Surabaya menyampaikan pembatasan jumlah wartawan yang diperbolehkan mengambil gambar.
“Disampaikan hanya dua wartawan yang boleh mengambil foto, padahal saat itu ada sekitar enam wartawan. Selain itu juga diminta agar peliputan tidak hanya difokuskan pada Bimas, karena ada tersangka lain yang juga menjalani tahap II,” ujar Harifin.
Ia menambahkan, wartawan lain bernama Arif yang mengambil gambar menggunakan telepon genggam juga mendapat teguran keras dari petugas keamanan.
“Petugas menegur dengan nada tinggi dan melarang pengambilan gambar,” tambahnya.
Harifin juga menyebutkan bahwa pihak intelijen kejaksaan berjanji akan membagikan foto resmi para tersangka kepada awak media.
Insiden ini memunculkan pertanyaan serius terkait batas kewenangan petugas keamanan dalam membatasi kerja pers, khususnya di lingkungan lembaga penegak hukum yang memiliki kewajiban memberikan informasi kepada publik.
Pembatasan liputan tersebut dinilai berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan bahwa wartawan berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi sepanjang dijalankan sesuai kode etik jurnalistik dan ketentuan hukum.
Meski lembaga penegak hukum memiliki prosedur pengamanan internal, pembatasan terhadap aktivitas jurnalistik harus memiliki dasar hukum yang jelas, bersifat proporsional, dan disampaikan secara terbuka agar tidak dimaknai sebagai upaya penghalangan pers.
Praktisi hukum Teguh Wibisono Santoso menegaskan bahwa aparat negara berkewajiban menyediakan akses informasi kepada publik melalui media.
“Pemerintah dan aparat pelaksana wajib menyediakan informasi. Soal informasi apa yang diliput merupakan kewenangan pers. Setiap upaya pembatasan atau penghalangan transparansi adalah persoalan serius dalam demokrasi,” tegas Teguh.
Ia menilai, aparat seharusnya mengedepankan sikap melayani, bukan menunjukkan arogansi dalam berhadapan dengan insan pers.
“Aparat itu melayani. Mereka harus memfasilitasi akses informasi, bukan justru membatasi. Bila perlu, aparat yang proaktif membuka akses agar publik memperoleh informasi secara utuh,” ujarnya.
Menurut Teguh, pembatasan dan pengaburan informasi justru berpotensi menimbulkan kecurigaan publik.
“Upaya membatasi informasi akan memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, penyediaan informasi semestinya dilakukan secara proaktif dan terbuka, termasuk dokumentasi resmi yang dapat diakses publik.
Hingga berita ini ditayangkan, Kejaksaan Negeri Surabaya belum memberikan keterangan resmi terkait kronologi insiden maupun dasar kebijakan pembatasan liputan tersebut. Klarifikasi terbuka dinilai penting guna memastikan relasi antara institusi penegak hukum dan pers tetap berjalan dalam koridor transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap kemerdekaan pers.
Editor : Red

